Anik Zahra

Anik Zahra adalah nama pena dari NI'MATUZ ZAHROH. Ia adalah seorang guru Bahasa Inggris di MTsN 5 Jombang, seorang ibu dari tiga orang anak, dan penyuka mu...

Selengkapnya
Navigasi Web
ANJING

ANJING

#TantanganGurusiana

#Tantangan_365HariMenulis

#Tantangan_Hari_Ke6

ANJING

Gerimis membasahi tanah kampung Mbah. Udara dingin terasa menusuk-nusuk jantung ketika aku menaiki jalan kampung yang menggunung di sisi bukit. Matahari sudah tak tampak lagi di kaki langit barat. Kampung Mbah suram dan kelabu, seperti kerbau raksasa yang membeku karena udara dingin.

Pelan-pelan aku menembus kabut yang mulai menebal di sepanjang jalan. Tiba-tiba aku terantuk sebuah tiang yang memancang di tepi jalan. Tubuhku terhuyung ke kiri. Tetapi yang mengagetkan, secara serentak sekawanan kelelawar berkepakan tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku hampir terjerembab karena ngeri.

Sementara suasana sangat sepi, deru mobil sama sekali tak terdengar. Lolong anjing mulai menggetarkan udara. Kini, lengkap sudah kengerian dan penderitaanku. Anjing menyalak bersahutan, seolah-olah mereka telah sama-sama sepakat hendak merontokkan jantungku.

Jalanan lengang, tak ada orang satu pun. Di kejauhan, tampak sesuatu yang membuatku pucat dan tegang. Seekor anjing --seperti dibawa oleh sebuah keajaiban-- sudah menghadang perjalananku. Kedua matanya tajam dan liar, seperti ada rasa benci dan mengejek. Anjing berbulu merah cokelat itu mendengus-dengus, menggeram, kemudian menjulur-julurkan lidahnya.

Aku terpaku, terpaksa berhenti. Kupikir, doa-doa yang meluncur dari mulutku tak terkabulkan ketika mulai kurasakan air kencing mengucur dari dalam celanaku. Hangat dan seperti berminyak. Namun, semua itu hanya bisa kurasakan sekejab, karena setelah itu aku terjatuh.

***

Aku terbangun di rumah Mbah. Selimut yang menutupi tubuhku basah, agaknya aku terkencing lagi di atas ranjang.

“Kang Shodikin yang biasa mengantar susu, menemukanmu pingsan di jalan,” kata Mbah menyambut kesadaranku.

Jadi, aku benar-benar terjatuh dan pingsan. Sudah berapa lama? Trus, di mana anjing besar yang menghadangku?

“Apakah Kang Shodikin tidak melihat anjing besar?” tanyaku lirih.

“Dia nggak cerita apa pun,” sahut Mbah.

Kemudian Mbah menyodorkan segelas susu panas. Kuterima dan kuteguk setetes-setetes.

“Kamu harus lebih hati-hati selama di kampung ini, Nduk!” Bulek --yang tinggal bersama Mbah-- menyela dari belakang punggung Mbah.

Aku mengangguk pelan.

“Beberapa hari yang lalu, dua anak gadis sudah jadi korban anjing liar itu,” papar Mbah mulai membuka cerita.

“Ya, Rizki --anaknya Bulek-- pernah cerita dalam suratnya. Itulah yang membuat saya tertarik ke sini. Saya akan menulisnya.”

“Anehnya, setiap siang anjing-anjing kampung tidak kelihatan liar dan ganas. Mereka bahkan kelihatan lemah dan kurang makan. Mereka jadi liar setelah hari mulai gelap,” tambah Mbah.

“Kampung ini berada di tepi hutan. Apakah tidak mungkin, anjing hutan yang mengendalikan anjing-anjing kampung menjadi ganas, Mbah?” tanyaku penasaran.

“Ya, tentu itu salah satu kemungkinan. Kami sendiri berusaha lunak pada mereka. Selama ini, kami tidak pernah menyakiti dan membunuh mereka. Sekarang, setiap warga yang memiliki anjing wajib mengurung anjingnya sebelum hari petang,” lanjut Mbah bercerita.

“kemarin ada laporan, seorang lagi diserang di ujung jalan masuk hutan. Tangan dan bahunya koyak. Sekarang ia masih demam,” sekali lagi Bulek menambahkan cerita Mbah.

Aku menarik napas, tak terasa malam sudah semakin kelam. Sayup-sayup kami mendengar lolongan-lolongan yang memilukan. Tak berapa lama kemudian salak dan gonggongan mulai terdengar. Makin lama makin gaduh dan mengerikan.

***

Mbah sedang pergi mengantar Bulek ke tetangga yang kena musibah. Rumahnya di ujung jalan dekat hutan. Aku dan Rizki di rumah sedang menonton televisi. Terdengar gonggongan dan lolongan anjing yang semakin mengeras dan menyeramkan. Jantungku berdetak sangat kencang. Rizki mencekeram lenganku kuat-kuat.

Tiba-tiba sebuah makhluk hitam dan berat menerjang kaca jendela rumah Mbah. Kami tergeragap dan gemetaran. Kaca jendela sudah berhamburan di lantai. Anjing hitam itu tidak terluka sedikit pun. Lidahnya menjulur-julur. Matanya liar dan tajam. Ekor yang kecil dan licin mengibas-ngibas ke kiri dan kanan.

Rizki memekik berulang kali. Meski seluruh badan gemetaran, aku tetap berusaha tenang dan mencari jalan lolos dari serangan.

“Sembunyi di tempat aman. Jangan keluar sebelum aku memanggilmu,” bisikku di telinga Rizki yang masih berumur 11 tahun itu.

Rizki bergegas masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam.

Kini, di depanku, anjing hitam berbulu licin memancarkan kemarahannya yang luar biasa. Moncongnya yang panjang mengendus-endus penuh nafsu dan kebencian. Sejenak aku tergagap ketika melihat anjing itu melompat menerjangku. Aku berguling menyambar bangku kecil. Dan ternyata, anjing itu berhasil menyobek jaket dan sisi kanan dadaku. Panas dan menyengat rasanya.

Anjing itu kembali menerjang dengan lompatan panjang dan perkasa. Aku berusaha menepis serangan itu dengan bangku kayu. Anjing itu gagal mencabik-cabik leher dan wajahku. Lehernya terdongak oleh sentakan bangku, dagunya terluka cukup parah. Tiba-tiba ia meraung seperti mengadu kesakitan. Kemudian ia melompat keluar melalui pecahan jendela kaca yang diterjangnya. Terhuyung-huyung ia lari menembus kepekatan malam.

Tak lama waktu berselang, terdengar ketukan-ketukan keras dan gaduh. Terlihat kepala menyembul dari kaca jendela yang hancur diterjang anjing.

“Mbak Adrina! Buka pintu, Mbak!” teriak Kang Shodikin berkali-kali.

Bergegas aku menghampiri pintu dan menyambut mereka. Astaga! Kang Shodikin tertatih-tatih membopong Bulek.

Bulek sudah dibaringkan di ranjang. Beliau terbangun dan mengejang. “Anjing, duaa …!” bibir Bulek mendesis-desis. Tubuhnya yang penuh luka itu mengejang dan kemudian terkulai di ranjang. Tak ada detak jantung, wajahnya pucat, Bulek telah wafat.

Sementara di pintu, Mbah tersandar lesu. Baju beliau robek. Beberapa cakaran memanjang di sekujur tubuhnya. Sebuah belati masih digenggam kuat di tangan Mbah.

Beberapa menit kemudian, seekor anjing cokelat mendekati Mbah, seketika aku kaget dan berteriak, "Awas, Mbah!"

"Jangan panik, anjing itu yang telah menyelamatkan Mbah. Tadi ia bertarung dengan anjing liar dan ganas sampai akhirnya kami selamat," ucap Mbah menjelaskan.

Aku mendekati anjing cokelat itu, kusentuh dan kuelus tubuhnya sebagai ucapan terima kasih, karena telah menyelamatkan Mbah. Dan sejak malam itu, ia menjadi sahabatku. Ia tinggal dan menemani Mbah di kampung. Aku pun merasa tenang, karena ada si cokelat yang kini menjaga Mbah.

***

Jombang, 14 Juli 2020

Catatan kaki:

Mbah: Panggilan untuk nenek atau kakek

Bulek: Tante / adik dari orangtua

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Masih menyisakan misteri, keren bun

14 Jul
Balas

Makasih. Baiknya diterusin macam cerbung atau enggak nih?? Hehehe..

14 Jul

W O W

14 Jul
Balas

MENCEKAM (dikit) hehe

14 Jul



search

New Post