Anik Zahra

Anik Zahra adalah nama pena dari NI'MATUZ ZAHROH. Ia adalah seorang guru Bahasa Inggris di MTsN 5 Jombang, seorang ibu dari tiga orang anak, dan penyuka mu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Bila Waktu Tlah Berakhir

Bila Waktu Tlah Berakhir

#TantanganGurusiana

#Tantangan_365HariMenulis

#Tantangan_Hari_Ke2

Tanah kuburan itu masih merah. Gundukannya tampak lembab saking segarnya. Satu persatu kepingan bunga mulai jatuh ke atasnya. Makin lama makin banyak. Menumpuk menutupi permukaan tanah. Dan pelan-pelan tanah merah itu lenyap dari pandangan, berganti dengan hamparan bunga setebal kurang lebih dua centimeter.

Begitu banyak orang yang hadir di pemakaman Pak Ali, almarhum ayah Adrina. Tak heran kalau tebaran bunga begitu deras bagai hujan yang dicurahkan dari atas untuk membanjiri permukaan makam Pak Ali. Membanjirinya dengan kuntum-kuntum bunga merah, putih dan kuning. Menebarkan bau wangi yang luar biasa mengalahkan bau tanah basah yang semula merebak di udara.

Air mata Adrina menetes tak kalah derasnya dengan tebaran bunga duka cita dari para handai taulan. Seperti ingin menyirami tebaran kuntum bunga agar tak cepat layu terpanggang terik matahari yang tajam membakar permukaan bumi. Seolah ingin menyejukkan jasad Pak Ali, ayahnya, yang terkubur enam kaki di bawah permukaan tanah itu.

Bu Aisyah --ibunya Adrian-- menampakkan ketabahannya. Senyumnya menjadi penyegar suasana duka cita. Suara lembutnya menjadi penawar rasa berkabung yang menyelimuti hati segenap orang-orang yang datang. Melihat Bu Aisyah, rasanya hati jadi adem. Yang sedih sirna. Bahkan kemarahan pun bisa luntur menghadapi kelembutan Bu Aisyah.

Inilah sebuah bukti bahwa kemarahan tidak selalu harus dihadapi dengan kekerasan. Ini adalah bukti nyata bahwa seringkali kesabaran dan kelembutan justru lebih dahsyat dan mampu mengalahkan kekerasan dan keangkara murkaan.

Takdir adalah pemberian Tuhan, maka tak pantas kita menyalahkan takdir. Karena itu, Adrina merasa yakin kalau dirinya tak mungkin bisa menjadi seperti ibunya yang tabah. Pasalnya, Adrina benar-benar sudah marah pada takdir. Tak memahami apa maksud ketidakadilan yang diberikan Tuhan sepanjang hidupnya.

“Na …” sapa ibunya dengan penuh kasih. “Ayo pulang, sudah hampir magrib,” ajaknya lembut dengan senyum di bibirnya.

Adrina mematung.

“Ada apa sih, Na?” tanya ibu khawatir seakan bisa membaca kemarahan di wajah anak tunggalnya itu.

“Aku marah, Bu,” desis Adrina.

“Marah? Marah pada siapa?” tanya ibu heran. Bukannya sedih kok malah marah menghadapi kepergian ayahnya. “Sama dokter?” terka ibu.

Adrina diam.

“Jangan menyalahkan dokter. Mereka sudah berusaha semaksimal mungkin. Ibu lihat sendiri. Ibu menyaksikan sendiri di rumah sakit. Memang sudah takdir Ayah untuk pergi.”

“Aku nggak menyalahkan dokter, Bu,” tukas Adrina.

“Lantas kamu marah sama siapa? Astaga, Na … kamu marah sama dirimu sendiri? Jangan, Nak … jangan menyalahkan dirimu!” kata ibu makin khawatir. Takut anaknya merasa bersalah atas kematian sang ayah.

“Aku marah pada Tuhan, Bu!” desis Adrina geram.

Ibunya melotot kaget. Shock bagai kesambar petir mendengarnya.

“Astaghfirullaahal azhiim! Masya Allah … Na, jangan ngomong sembarangan!”

“Aku serius, Bu. Aku marah sama Tuhan, marah besar!” tegas Adrina.

Bu Aisyah tak mendebat apa-apa lagi. Ia tarik tangan anaknya untuk meninggalkan pemakaman yang sudah sepi itu.

Langit mulai gelap. Matahari jatuh pelan-pelan. Sedikit lagi akan terbenam di balik bukit. Kupandangi mereka berdua keluar dari area pemakaman dengan sedikit tergesa-gesa. Meninggalkan jejak kesedihan yang akan menemani hari-hari mereka setelah ditinggal mati orang-orang tercinta.

Di sudut pemakaman, yang berjarak sekitar lima langkah dari pintu masuk, tubuhku tetap berdiri tegar. Memberikan kerimbunan pada sisa-sisa duka. Menghadirkan keharuman dari setiap kelopak yang kupunya. Menyaksikan segala bentuk duka dan kesedihan.

Aku tetap tak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Yang kutahu hanyalah kekuatan rasa bersyukur atas kehidupan. Karena jika jasad sudah menempati lubang yang setinggi orang berdiri dan lebar dengan ukuran satu hasta lebih satu jengkal, maka yang tinggal hanya sebuah nama dan kenangan.

--T A M A T --

➖➖➖

Jombang, 10 Juli 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga Husnul khotimah

10 Jul
Balas

Amiinnn...Hanya fiksi, Pak hehe...

11 Jul



search

New Post